Bab 1: Perempuan dari Arah Timur
Kabut pagi menggantung di atas perairan Teluk Lhokseumawe, mengaburkan batas antara laut dan langit. Suara burung camar terdengar nyaring, bercampur dengan deru ombak yang memecah halus di bibir pantai. Penduduk kampung keluar dari rumah mereka, menatap ke kejauhan dengan rasa penasaran yang bercampur gentar. Di kejauhan, lima puluh kapal perang kayu bergerak perlahan, seperti hantu dari zaman lain, menuju daratan Aceh.
Kapal-kapal itu dihiasi panji-panji bersulam benang emas dan merah darah. Pada bagian lambung masing-masing kapal terukir simbol naga dan bunga teratai. Namun hanya satu kapal yang berdiri paling megah, ditopang tiang layar tertinggi dan dikelilingi barisan prajurit perempuan berzirah perak. Dari kapal itulah seorang perempuan muncul ke geladak atas, mengenakan zirah bersinar memantulkan cahaya fajar. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai yang belum pecah. Dialah Nian Nio Lian Khie, jenderal perempuan dari tanah Tiongkok, panglima besar pasukan wanita pelindung negeri.
Dari usia yang sangat muda, Nian Nio telah dilatih dalam seni perang, strategi, dan pengobatan rahasia. Ia tumbuh dalam asuhan neneknya, seorang tabib sakti yang mewariskan tidak hanya ilmu medis, tetapi juga ilmu menjaga diri yang berakar dari tradisi kuno: menjaga kesucian tubuh dengan ramuan pelindung. Ia tidak tahu, bahwa pelindung itu sebenarnya adalah kutukan—racun yang perlahan meresap ke dalam tubuhnya, membuatnya tak tersentuh oleh nafsu lelaki manapun.
Kini, ia tiba di tanah yang asing. Aceh, wilayah yang kaya dan kuat, adalah tujuan baru pasukannya. Bukan hanya untuk penaklukan, tapi juga untuk membuka bab baru kehidupan. Namun niatnya untuk menguasai wilayah itu segera berubah saat pertempuran pecah di darat.
Sultan Meurah Johan, raja muda dari Kerajaan Pase, menantang Nian Nio untuk mengakhiri pertempuran dengan cara yang tidak biasa—duel satu lawan satu. Penduduk berkumpul menyaksikan pertarungan yang berlangsung tujuh hari tujuh malam. Pedang bersambut pedang, siasat bertemu siasat. Tapi pada malam ketujuh, ketika bulan purnama menggantung sempurna di langit, pedang Nian Nio jatuh dari tangannya.
Ia kalah. Namun hatinya tidak hancur. Justru dari kekalahan itu, ia menemukan sesuatu yang tak pernah ia temui di medan perang: rasa kagum.
Meurah Johan, yang seharusnya membunuhnya, justru menawarkan pernikahan. Bukan untuk mempermalukannya, tetapi karena ia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar musuh. Ia melihat seorang perempuan yang teguh, tangguh, dan layak mendampingi singgasana.
Nian Nio menerima. Ia memeluk Islam dengan penuh kesadaran, dan namanya diganti menjadi Putroe Neng, yang berarti "putri yang mulia" dalam bahasa Aceh. Rakyat menyambutnya dengan hormat, meski beberapa masih menyimpan rasa was-was terhadap latar belakangnya.
Tapi Putroe Neng tidak peduli. Ia telah menemukan tempat baru, nama baru, dan mungkin... awal dari cinta yang belum ia kenal sebelumnya.
(Bersambung ke Bab 2: Kutukan Rahasia)
0 Comments