Kisah dimulai ketika Leube Muda diminta oleh gurunya, Teungku Lhok Drien, untuk mengantarkan sebuah kitab pada seorang ulama yang bernama Teungku Jambo Haji di desa lain. Gurunya berpesan agar dia jangan pernah membuka atau membaca kitab tersebut.
Ternyata Leubee Muda tidak mematuhi larangan dari gurunya, dalam perjalanan dia membaca kitab itu dan menghafalnya dengan baik. Didukung oleh kecerdasannya , dalam sekejab Leubee Muda sudah menguasai ilmu yang terdapat dalam kitab tersebut. Ternyata, gurunya mengetahui bahwa dia telah membuka dan menghafal isi kitab itu.
Teungku Lhok Drien sangat marah. Dia tidak pernah menyangka bahwa murid yang sangat dikasihinya itu tidak amanah. Walapun demikian, rasa sayang Teungku Lhok Drien kepada Leube Muda belum sirna. Seiring perjalanan waktu, perasaan marahnya pun sudah mulai reda. Namun, Leube muda tidak demikian, dia malah mulai mepersenda gurunya dengan cara merubah wujudnya dengan berbagai-bagai bentuk untuk menguji ilmu barunya itu.
Kemudian terjadi pertempuran yang sangat seru antara guru dan murid dengan sama-sama berubah-rubah wujudnya dengan berbagai bentuk, seperti menjadi pohon pisang, tempat gantungan timba, pasir, air, dan burung. Pertempuran terjadi di dalam air dan di dalam tanah. Karena terdesak, Lebee Muda melarikan diri ke Blang Laka, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, dan Leubee Muda berubah nama menjadi Jugi Tapa.
Sampai pada bagian ini semuanya merupakan simbol. Secara eksplisit, narator memberi pesan kepada para pendengar bahwa kita harus menghormati guru. Jangan pernah mempermainkan dan melawan guru. Jangan seperti Leube Muda yang kemudian menjadi Jugi karena melawan gurunya. Nama Jugi dalam hikayat ini berkonotasi tidak baik: jahat peragainya, tidak tahu membalas budi, tidak memiliki empati terhadap sesama, durhaka kepada guru.
Di Blang Laka Jugi mendirikan istana dengan mantranya. Dalam istana inilah jugi menyimpan para wanita cantik yang terdiri dari anak dan istri raja-raja serta pembesar-pembesar negeri, yang diambilnya dengan kekuatan mantranya
Sebelum Jugi pergi mencari wanita-wanita cantik untuk kesempurnaan ilmunya, dia menyimpan nyawanya pada seekor burung murai di atas pohon sibonbon yang terletak ditengah-tengah rawa. Rawa-rawa itu berisi pelbagai binatang berbisa seperti naga, ular, kala jengking, dan lain-lain. Semua binatang berbisa itu dibuat jugi dengan mantranya.
Untuk menjaga burung itu, ditugaskannya seorang yang bernama Dalem Maddi. Jugi memantrai Dalem Maddi, sehingga dia tidak tahu jalan untuk pulang, tidak bisa ke mana-mana, dan tidak bisa berpikir dengan baik. Pekerjaannya sehari-hari hanya memancing ikan. Hasil tangkapanya itulah yang dia makan sehari-hari.
Untuk kesempurnaan ilmu dan kesaktiannya, Jugi Tapa harus memperistrikan seratus orang wanita cantik. Jugi Tapa bertapa di dalam istananya untuk menerawang keberadaan wanita-wanita cantik yang akan dijadikan istrinya. Dia sudah berhasil mengumpulkan sembilan puluh delapan orang wanita, hanya tinggal dua wanita lagi yang belum berhasil dia dapatkan. Blang Laka menjadi sepi, tidak ada lagi orang. Ada yang dibunuh, ada pula yang disihirnya menjadi berbagai macam benda, seperti batu, pohon kayu, tiang pagar istananya, dan lain-lain. Hanya tinggal seorang perumpuan, yang bernama Ni Kubayan. Perempuan tua ini ditugaskan oleh Jugi Tapa untuk menjaga dan menghibur para wanita yang dibawa dengan ilmu mantranya.
Setiap hari Jugi mencari dua orang lagi wanita untuk dibawa ke Blang Laka. Pada suatu hari dia mendengar ada seorang istri raja yang cantik jelita, bernama Putro Bunsu, istri dari Raja Sadon di Kuala Diwa. Wanita cantik ini baru melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Amat Banta, sedangkan suaminya sudah pergi berburu rusa ke dalam hutan. Raja pergi berburu rusa untk menuruti keunginan istrinya yang mengidam daging rusa. Raja pergi semasih istrinya haml tua. Sampai istrinya melahirkan Raja Sadon belum kembali.
Pada saat Putro Bunsu baru melahirkan satu hari lamanya, Jugi Tapa tiba di rumah Putro Bunsu. Dia membawa Putro Bunsu tanpa ada bantahan, karena sang Potro telah diberi mantra oleh Jugi. Walau demikian Putro sangat sedih, baru saja dia melihat putranya yang sangat elok rupanya, dia harus berpisah.
Putro Bunsu meninggalkan sebilah cicin pada bayinya itu, dengan harapan kelak putranya besar, Putro Bunsu bisa mengenalinya dengan tanda cicin tersebut. Jugi Tapa membawa Putro Bunsu ke istananya di Blang Laka. Hari-hari Putro Bunsu dijaga oleh seorang wanita tua yang bernama Nikubayan. Nikubayan inilah yang menghibur Ptro Bunsu, terutama dengan membuat karangan bunga yang indah untuk sang Putro setiap hari.
Ketika Raja Sadon kembali dari memburu rusa, dia melihat tidak ada lagi permasurinya. Istrinya telah dibawa oleh Jugi Tapa. Hal itu diketahuinya dari kakak istrinya—dalam bahasa Aceh dipanggil Tumuda. Tidak menunggu lama, setelah meninggalkan segala pakain kebesaran dan sebilah pedang untuk sang putra, Raja Sadon pergi dengan seekor kuda untuk mencari permaisurinya ke Blang Laka pada malam hari. Di sana terletak keraton Jugi—dalam bahasa Aceh disebut kuta.
Malang sekali, Jugi mengetahui Raja Sadon sedang menuju ke tempatnya. Lalu, Jugi mengirimkan matra. Raja Sadon dan kudanya tersangkut pada sebatang pohon kelumpang (sterculia foetida)—dalam bahasa Aceh namanya bak geulumpang—karena mantra Jugi. Raja Sadon bersama kudanya menjadi dahan pohon besar itu.
Sampai sekarang pada pohon tersebut masih terdapat dahan kelumpang yang menyerupai kuda yang sedang ditunggangi oleh manusia. Oleh karena itu, tempat tersebut dinamai Sawang (sekarang Kecamatan Sawang) yang berasal dari kata sawak. Kata sawak dalam bahasa Indonesia artinya sangkut; meusawak artinya tersangkut. Maksudnya, Raja Sadong tersangkut (meusawak) atas pohon kelumpang tersebut. Dari kata sawak (sangkut) itulah asal usul nama desa Sawang. Sekarang Sawang merupakan nama kecamatan di Kabupaten Aceh Utara.
Amat Banta tinggal di istana Kuala Diwa bersama bibinya (makwa). bibinyalah yang merawat Amat Banta. Memumasuki usia lima tahun, Amat Banta sudah pandai berbicara. Setiap hari pula dia bermain-main bersama teman-teman sebayanya. Permainan yang kerap dilakukan ialah bermain panta. Amat Banta sangat pandai bermain panta. Teman-temannya selalu kena panta dari Amat Banta, sampai mata kaki teman-temannya berdarah.
Karena hal itu, teman-temannya mulai membeci Amat Banta. Di antara mereka ada yang menyuruh untuk memukul Amat Banta, serta mengatakan, “Untuk apa takut pada anak yang tidak punya ayah dan ibu.” Mendengar hal itu, hati Amat Banta sangat sedih. Sambil menangis Amat Banta pulang ke rumah. Amat Banta menanyakan pada makwanya, apakah benar dia tidak mempunyai ayah dan ibu. Mendengar pertanyaan tersebut, makwanya sangat sedih, tak dapat membendung air matanya. Namun demikian, makwanya masih dapat menyakinkan Amat banta bahwa dialah ibunya, sedangkan ayahnya sudah meninggal pada waktu Amat Banta masih bayi. Amat Banta percaaya dan hatinya tidak lagi galau.
Hari-hari kemudian, Amat banta tidak lagi bermain-main bersama teman-temannya. Untuk mengisi hari-harinya, Amat Banta memancing di Krueng Ajo. Amat Banta senang dengan kegiatan barunya. Itulah yang dilakukanya setiap hari. Pada saat Banta Amat sedang asyik memancing, datang bing pho (fiddler crab), dalam bahasa Indonesia disebut kepiting uca. Sebagai mana pada umumnya, kepiting mempunyai sepasang tangan penjepit. Akan tetapi, kepiting ini mempunyai tangan penjepitnya kecil sebelah. Alkisah, dalam hikayat ini disebutkan bahwa tangan penjebitnya kecil sebelah karena dipukul oleh Amat Banta dengan gagang pancing.
Bing Pho memberitahukan pada Amat Banta bahwa ibunya sudah dibawa oleh Jugi Tapa ke Blang Laka. Mendengar hal itu, Amat banta sangat sangat marah, lalu dia memukul bing pho tersebut dengan gagang pancing, sehingga tangan bing pho hancur sebelah. Bing pho sangat menyesal. “Seandainya aku tahu begini akibatnya, tentu tidak akan memberitahu-kan hal tersebut kepadamu,” kata bing pho pada Amat Banta. “Wahai Amat, sekarang aku sangat susah, paha kusebelah telah binasa. Baik yang aku lakukan, sagat buruk yang engkau balaskan,” lanjut bing pho.
Pada bagian ini terdapat ikon, bahwa tidak semua kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain, akan dibalas dengan kebaikan. Adakalanya kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain dibalas dengan keburukan, seperti yang dialami oleh bing pho. Malah, akibatnya harus ditanggung oleh semua keturunan bing pho sampai sekarang.
Semua bing pho memiliki tangan yang kecil sebelah, akibat nenek moyangnya dipukul oleh Banta Amat pada masa dahulu. Sampai hari ini, apabila kepiting uca ini terperogok dengan manusia, dia akan mengangkat tangan pencepitnya sebagai tanda dia minta ampun agar jangan dipukul lagi. Secara genetik, ketakutan itu diwariskan kepada anak-cunya, tidak hanya secara fisik yang membuat keturunannya menjadi tangan pencepitnya kecil sebelah.
Setelah Amat Banta mendengar apa yang dikatakan oleh bing pho, dia segera pulang ke rumah dengan hati yang gundah. Sesampai di rumah, Amat Banta menanyak kebenaran kabar bing pho kepada Makwanya. Setiap hari Amat Banta menanyakan kebenaran apa yang dikatakan oleh bing pho sambil menangis. Atas pertimbangan Amat Banta sudah cukup umur dan menanyakan terus-menurus hal tersebut, maka Makwanya menceritakan kepada Amat Banta dengan sebenarnya, bahwa apa yang diberitakan oleh bing pho adalah benar.
Tidak berapa lama kemudian, Amat Banta meminta izin kepada bibinya untuk mencari Ibunda yang telah dibawa oleh Jugi Tapa, dan Ayahandanya yang tidak pernah kembali ketika mencari Ibundanya pada masa dahulu. Amat Banta pergi dengan menunggangi seekor kuda terbang—anak daripada kuda yang ditanggi ayahandanya pada masa dahulu.
Setelah berhari-hari lamanya menembus awan dan rimba belantara, akhirnya Amat Banta melihat sebuah istana, yang di depannya duduk seorang wanita tua berbadan gemuk dan tidak mempunyai gigi lagi. Amat Banta mendekati wanita itu, bernama Ni Kubayan. Amat Banta dan Ni Kubayan menjadi akrab. Amat Banta bisa menumpang di rumah Ni Kubayan.
Ni Kubayan amat takut apabila Putri Bunsu mengetahui ada seorang pemuda di rumahnya. Ni takut Putro akan memebritahukan hal itu kepada Jugi. Jika Jugi Tapa tahu, dia akan merubah wujud Amat Banta, menjadi kayu atau batu. Oleh karena itu, Ni Kubayan selalu menyembunyikan Amat Banta di atas para ketika Ptro Bunsu mengambil karangan bunga setiap pagi di rumah Ni Kubayan.
Pada suatu pagi, Putro Bunsu melihat karangan bunga sangat bagus, tidak seperti biasanya. Sang
Putro menaruh curiga, jangan-jangan ada tangan lain yang membuatnya. Sampai hal itu ditanyakan kepada Ni Tuha. Numun, Ni tetap mengakui, dia sendiri yang melakukannya. Putri Bunsu bertambah curiga ketika melihat sebilah cincin di jari Ni Kubayan. Cincin yang dipakai Ni Kubayan adalah cincin Amat Banta yang ditinggalkanya dahulu pada waktu dibawa oleh Jugi Tapa. Ketika Putro memakainyanya, cincin itu sangat pas karena itu memang cincin yang ditinggalkan pada anaknya dulu, sewaktu dijemput oleh Jugi Tapa.
Putro Bunsu semakin curiga bahwa Amat Banta disembunyikan oleh Ni Kubayan di rumah itu. Putro Mencarinya dan menemukan Amat Banta di atas para yang di sembunyikan oleh Ni di bawah belanga besar. Setelah mengetahui siapa pemuda tersebut, Putro menangis, air matanya tak tertahankan. Tidak lain, pemuda itu adalah putranya yang pernah ditinggalkan di dalam ayunan ketika berumur tiga hari.
Setelah itu, Putro Bunsu langsung pulang ke istana Jugi Tapa. Dengan bujuk rayu, Putro Bunsu menanyakan, di mana Jugi menyimpan nyawanya. Tanpa berprasangka, Jugi memberitahukan di mana Jugi menyimpan nyawanya. Tidak ada seorang pun bisa sampai ke tempat itu, karena Jugi telah memberi hikmat dan mantra, dikelilingi paya yang dalam, dan di dalamnya penuh dengan bintang berbisa.
Dengan kata-kata indah, Putro Bunsu terus menanyakan, bagai mana cara bisa sampai ke tempat itu. Karena cintanya ke pada Putro Bunsu, Jugi memberitahukan segalanya. Setelah semuanya diperoleh dari Jugi Tapa, Putro Bunsu segera kembali ke rumah Ni Kubayan. Putro Bunsu menyerahkan segala hikmat mantra yang baru diperoleh dari Jugi Tapa dan memberitahukan segala cara kepada Amat Banta. Berbekal semua itu, Amat Banta pun berangkat untuk mengambil nyawa Jugi yang disimpannya pada seekor burung murai di atas pohon sibon-bon, yang terletak di atas gunung di tengah payau besar yang penuh dengan binatang berbisa
Dengan segala bekal yang diberikan oleh ibunda, Amat Banta pergi untuk mengambil burung murai, tempat Jugi Tapa menyimpan nyawanya. Amat Banta harus memanjat pohon besar untuk mengambil burung itu, namun tidak mudah. Burung itu sangat lincan, melompat dari satu cabang ke cabang yang lain. Amat Banta menebang cabang phon tersebut satu persatu. Salah satu cabang pohon itu diterbangkan angin ke Samalanga. Akhirnya, Amat Banta berhasil menangkap burung murai, tempat Jugi Tapa menyimpan nyawanya.
Setelah Amat Banta dapat menangkap burung itu, dia langsung kembali ke istana Jugi. Ketika melihat di tangan Amat Banta burung itu, Jugi Tapa Amat marah. Jugi dengan segala tipu daya berusaha meminta burung tersebut dari Amat Banta. Amat Banta tidak memberikannya. Hal itu membuat Jugi semakin marah. Pada saat itulah Amat Banta membunuh burung tesebut dengan mematahkan lehernya. Bersamaan dengan itu pula Jugi menemui ajalnya.
Pesan tersebut disampaikan secara eksplisit oleh narator bahwa kita jangan mudah percaya kepada wanita. Pada wanita tidak bisa disampaikan rahasia. Seperti yang dialami oleh Jugi, dia mati kerena tipuan istri mudanya yang jelita. Seandainya, rahasianya itu tidak disampaikan kepada Putro Bunsu istri mudanya itu, tentu dia belum mati.
0 Comments